Pokoknya[tm] Chemistry

Syahdan, sekitar sebulan yang lalu, di tanggal-tanggal yang ndak kalah tuanya dibanding hari ini, atm saya expired. Tobat tenan, saldo sudah mendekati saldo minimal kok ya ndak ada toleransi dari pihak bank. Mbok ya diundur sedikit, saldo yang minimal itu kan berarti tiap rupiahnya sangat berarti bagi saya. Toh bank juga tau siklus hidup rekening saya, masuk di awal bulan, habis dua pertiga di minggu pertama, setelah itu menetes-netes sampai akhir bulan. Atau mungkin malah karena isinya yang cuma netes-netes itu makanya bank ndak mau ngasih toleransi?

Apapun itu yang jelas saya akhirnya terpaksa ke bank, ngurus ATM baru, sekalian ndaftar SMS Banking. Bagi sampeyan yang belum pernah ngalami atm expired, saya kasih tau, layanan SMS Banking itu nempel ke kartu ATM, begitu kartu ATM sampeyan ganti maka SMS Banking sampeyan juga berhenti.

Ndilalah saya agak beruntung, customer service meminta seorang mbak-mbak dengan rambut sedikit berombak yang wajahnya manis untuk melayani saya, jadi ndak perlu ngantri. Kalo melihat mukanya yang cukup cantik masih muda sepertinya si mbak ini masih baru, entah masih magang atau apa.

Bukan wajah atau bodi semlohainya yang menarik perhatian saya, tapi obrolan awal yang dia katakan.

“Mas kantornya di mana?”

Lhadalah, cukup tersanjung tho saya, wong cuma buruh pabrik ditanya kantor, rasanya agak gimana gitu.

“Di pabrik nganu Mbak, dekatnya PLN.” Jawab saya.

“Oh, dekat rumah saya kalo gitu, saya tinggalnya di Darmoyudan, berarti kita masih tetanggaan.”

Lha ini, konon dalam ilmu komunikasi hal inilah yang pertama kali harus dilakukan saat ngobrol dengan orang yang baru dkenal, membangun chemistry alias membuat kecocokan. Dan membuat kecocokan yang paling mudah dimulai dari mencari kesamaan. Misalnya sampeyan kesasar di Timbuktu trus ketemu orang Singosari misalnya, mbok yakin akrabnya bakal melebihi saudara, karena ada kesamaan, sama-sama kesasar…

Dengan adanya kecocokan maka ngobrol bisa lebih nyambung, apa yang kita maksudkan bisa lebih mudah disampaikan. Dan konon kesamaan yang dicari dalam membangun kecocokan ini bisa berupa kesamaan yang bersifat bawaan, misalnya kesamaan asal daerah, suku, weton, sampai jumlah tahi lalat, bisa juga yang sifatnya bukan bawaan. Hal ini bisa dilakukan dari mulai menirukan gerak sampai menyamakan irama nafas.

“Trus kamu jadi cocok sama si Mbaknya itu Le?” Tanya Kang Noyo, saat obrolan di bank itu saya ceritakan sambil menyesap kopi di warung Mbok Darmi.

“Ndak juga Kang…” Jawab saya.

Lha piye, wong ingatan saya tentang wilayah memang amat sangat memprihatinkan. Jadi saat si mbaknya bilang Darmoyudan saya cuma manggut-manggut tanpa tau harus ngomong apa. Saya gak tau di mana itu Darmoyudan!

“Yo wis, gak usah terlalu disesali. Wong dasarnya kamu memang ndak berbakat dekat cewek cakep, jadi kalo chemistry ndak terbangun itu bukan karena apa-apa, memang sudah dari sananya, kamu ndak mbakat, titik.” Kata-kata Kang Noyo entah kenapa selalu mengandung aroma anyir.

Kadang saya berpikir, kok ya apes tenan hampir tiap kali saya ngopi di sini ketemu Kang Noyo. Memang benar kami satu suku, juga benar kami satu pabrik, juga benar lagi kami sama-sama suka nongkrong di warung Mbok Darmi, jadi kalo mau membangun chemistry karena kondisi bawaan sepertinya bisa dilakukan. Tapi kalo kelakuan saya susah mengimbangi, misalnya dia suka minta rokok, saya susah mau niru-niru minta rokok, lha wong dia minta rokoknya ke saya. Atau dia suka pesen kopi, gorengan segala macem, lalu kabur minta dibayari, saya mau niru juga susah, wong yang disuruh mbayari saya. Lha trus saya mau minta bayari siapa?

“Kamu itu ancen kuno kok Le…” Hawa kemaki semakin kental di warung Mbok Darmi.

“Jadi orang itu mbok ya jangan terlalu konservatif, berpandangan yang agak luas gitu lho.” Ujar Kang Noyo.

“Membangun kecocokan itu ndak selalu harus dilakukan dengan mencari kesamaan yang sifatnya bawaan atau mencoba meniru apa yang dilakukan orang lain.”

“Lha terus…?” Saya penasaran.

Jadi menurut Kang Noyo ada lagi cara ampuh untuk membangun kecocokan selain dari mencari kesamaan dari dua pihak yang berkepentingan, yakni dengan mencari pihak ketiga.

“Pihak ketiga ini ndak perlu dilibatkan Le, cukup dicari saja.” Ujar Kang Noyo.

Konon ada yang disebut common enemy, alias musuh bersama. Dengan adanya musuh bersama maka segala macam perbedaan bisa dikesampingkan oleh sebuah persamaan, musuhnya sama. Kecocokan semacam ini tentu ada konsekuensinya, dia hanya akan bertahan selama si common enemy ini masih menjadi peran antagonis. Entah itu sebagai tirani yang selalu harus dilawan bersama atau bisa juga sekedar dianggap berbeda sehingga berpotensi merusak tatanan yang ada.

Yang dilakukan pun bisa bermacam-macam, mulai dari bergunjing ringan di sela arisan, saling meng-upgrade gosip, mem-bully dengan halus, sampai merendahkan secara terang-terangan. Karena kadang ada orang yang hanya bisa merasa terhormat setelah dia merendahkan yang lain.

“Artinya ada personal branding yang harus dijaga di sini, menjaga api supaya tetap menyala.” Kang Noyo nyerocos sambil terus-terusan ngambil rokok saya.

“Dan ingat, ilmu itu mahal harganya. Jadi kalo sekedar kopi segelas, lima gorengan, dan sebungkus rokok tentunya kamu ndak keberatan untuk mbayari kan…”

Kang Noyo berlalu, meninggalkan saya yang masih terbengong-bengong, ndak paham.

Ndak paham kenapa harus selalu saya yang mbayari…

Sayup-sayup terdengar alunan lagu Bon Jovi, “Like the roses need the rain, like a poem need the pain…“

Saya garuk-garuk, chemistry need a common enemy…?

Mbuh lah, saya ndak begitu paham soal chemistry, yang saya tahu Kang Noyo adalah orang yang patut dinominasikan sebagai common enemy!

Jiyan!