Kembali Menuju Era Selangkangan

Pilem Panas Jadul

“Selera penonton kita apa memang separah itu tho Le?” Tanya Kang Noyo kemaren sore waktu ngopi bareng saya di warungnya MboK Darmi.

“Maksud sampeyan piye Kang?” Saya balik nanya.

“Pilem-pilem yang sekarang muncul itu lho, kok ndak jauh-jauh temanya dari mistik yang dicampur aroma esek-esek. Orang dagang kan pasti nawarin yang banyak konsumennya, makanya aku penasaran apa memang penonton kita seleranya ndak jauh-jauh dari selangkangan?” Ujar Kang Noyo.

“Kayaknya ndak juga Kang. Kalo sampeyan masih inget jamannya pilem Ada Apa Dengan Cinta mulai diputer di bioskop, tiketnya kan sampe beredar di calo-calo saking larisnya. Bandingkan dengan pilem Hantu Binal Jembatan Semanggi, sampe dibela-belain si Cynthiara Alona mbuka baju pun ndak bisa selaris itu.” Kata saya.

Bagi sampeyan yang sudah cukup umur di tahun 90-an pasti tau nama-nama Sally Marcellina, Febby Lawrence, Windy Chyndyana, Kiki Fatmala, dan kawan-kawannya. Di papan bioskop-bioskop pun yang nempel adalah judul-judul yang mengundang, semacam Godaan Membara, Bisikan Nafsu, Bergairah di Puncak, Ranjang Pemikat, Gairah 100%, dan sejenisnya.

Komedi yang dirajai oleh Warkop DKI pun sajiannya ndak jauh beda, komedi slapstik dengan bumbu paha dan payudara. Waktu itu saya sempet mbaca di media, katanya komedinya adalah sajian untuk anak-anak, tapi karena anak-anak ndak mungkin nonton bioskop sendirian maka diberikanlah menu tambahan bodi sekseh nan montok untuk bapaknya. Mudah, murah, dan laris.

“Lho kok aneh alasannya, itu kan sudah satu paket, mosok bisa dipisah-pisah gitu.” Kata Kang Noyo sambil mesam-mesem ndak jelas.

Lama-lama mungkin penonton jenuh dan muncul sineas-sineas muda yang gerah dengan kondisi itu. Lalu muncullah pilem-pilem generasi baru yang bermutu, Ada Apa Dengan Cinta, Janji Joni, Eiffel I’m In Love, dan pilem-pilem lain yang mulai kembali ke khittahnya, mengandalkan kekuatan akting dan cerita.

Saya pikir masalahnya bukan pada konsumen, tapi para pembuat pilem. Seperti halnya ponakan saya yang baru belajar ngeband lebih suka main gitar dengan full distortion, karena salah-salah satu dua nada bisa ditutupi raungan distorsi, pembuat pilem pun lebih mudah membuat adegan mistik bercampur payudara karena lemahnya jalan cerita bisa disamarkan dengan lekuk semlohay tubuh pemerannya.

“Itu kalo kamu yang nonton Le, memang niatnya ndak pengen menikmati cerita, cuma nunggu bagian paha terbuka.” Kang Noyo ngakak.

Asyem!

Untuk membuat orang tertawa pun sebenernya ndak perlu harus dengan bahan lawakan instan berupa “penyiksaan” objek penderita seperti yang dulu disajikan pilem-pilem Warkop DKI dan sekarang menginspirasi komedi Opera Van Java dan Seger Bener. Pilem Maaf Saya Menghamili Istri Anda atau Naga Bonar mungkin bisa dijadikan contoh, yang lucu tidak harus mengorbankan sisi kekuatan akting dan cerita.

“Mungkin sudah dasarnya orang Indonesia itu males mikir Kang, sukanya yang instan. Lebih mudah mbikin Komedi Tengah Malam daripada sinetron Para Pencari Tuhan tho? Soalnya yang satu butuh mikir lebih dalem dibanding satunya.” Ujar saya.

Mbok yao para pembuat pilem itu mau mikir lebih dalem, jangan berpikir ala pedagang yang maunya serba instan. Mosok dunia tontonan kita mau dikembalikan ke era kegelapan?

Pulang dari warung Mbok Darmi perut saya kelaparan, saya nanya istri, “Bu, ada makanan apa?”

“Ndak ada makanan, itu ada Indomie kalo mau.”

Oalah instan lagi! Jiyan!

12 comments on “Kembali Menuju Era Selangkangan

  1. budiono berkata:

    wong india kui sing ngrusak film indonesia yang sudah mulai mutu

  2. Vicky Laurentina berkata:

    Untungnya, nggak semuanya kembali ke era selangkangan. Masih banyak film segar macam Laskar Pelangi dan Ayat-ayat Cinta yang tidak ngumbar paha dan payudara tapi tetap laris. Memang tergantung segmentasinya, Mas; penonton yang doyan Laskar Pelangi biasanya nggak doyan film esek-esek, dan penggemar esek-esek biasanya nggak doyan film berat. Dua-duanya, adalah kelompok yang terpisah satu sama lain.

  3. nDaru berkata:

    Kapan ya? film Indonesia bisa ndapet best foreign film di Piala Oscar. Saingan sama Crouching Tiger Hidden Dragon dulu.

    Sudah liyat film Merah Putih sama film Merantau? Visual effeknya bagus, dan ceritanya jugak lmayan bagus, yang satu berlatar belakang perang kemerdekaan, yang satu lagi mengangkat budaya pencak silat harimau dari tanah minangkabau, dan ironisnya..yang mbikin 2 film itu bukan orang indonesia. Gareth Evans KTPnya Ostrali

  4. big sugeng berkata:

    Berhala baru itu bernama uang dan uang sehingga apapun akan dilakukan demi berhala itu

    aku satu kantor sama mba eka istrinya babeh ali

  5. ulan berkata:

    masak sih mas?? saya belom pernah liat sih, liat aaahhh

  6. darahbiroe berkata:

    wakwakwkak setuju banget dengan judulnya emang orak mutu owq jadinya sekarang film bioskop indonesia

    payahhhhhhhhhhhhhhhhhhhh

    berkunjung dan ditunggu kunjungan baliknya makasihh šŸ˜€

  7. Chic berkata:

    masalahnya membuat film berkualitas dari segi cerita dan akting itu biaya mahal Mas, ide cerita juga harganya mahal… nah untuk menutupi biaya-biaya itu, maka dibuat dulu film murahan lan kacangan tapi lumayan laku. Hasil dari situ, baru buat film bermutu.
    *analisis ngawur*

    šŸ˜† šŸ˜† šŸ˜†

    eh tapi ada loh beberapa film bagus yang ngga laku dipasaran tapi malah justru menang festival internasional di mana-mana. Contohnya The Photograph. Sumpah itu film mulai dari cerita, sinematografi sampe ke akting keren banget. Tapi di bioskop cuma tayang 3 hari langsung diturunin. Ngga laku.

    Tanya kenapa? šŸ™‚

  8. mawi wijna berkata:

    Eksploitasi Payudara dan Paha pada film-film nasional, itu tanda mayoritas penontonnya adalah pria. Kok penonton wanita ndak protes yah? Misal bikin film tandingan yang mengeksploitasi keseksian pria šŸ˜€

  9. lina berkata:

    bikin film komedi cerdas memang susah sih ya…makanya butuh bantuan dada dan paha.

  10. fanz berkata:

    untung ga ada bioskop di tempat sayah
    tapi bener juga sih pelem indonesia ga lebih dari hantu hantuan yang di bumbui seks

  11. desty berkata:

    sbnrnya tema mistik hantu2an itu yg menarik minat bnyk org terutama kalangan ekonomi menengah ke bawah. ndak pake mikir nontonnya,wong dialognya palingan teriakan histeris liat hantu.
    masih ingat tayangan tv dunia lain jaman dulu? itu kan booming jg smp bnyak yg bkn acara serupa.

  12. lovelyfla berkata:

    saya sudah hampir 2 tahun nggak nonton film di bioskop, mas.
    kalo inget jaman sebelum perfilman Indonesia mati suri kan ngetrendnya film-film semacam ini. Semoga ini bukan awal dari mati suri tahap 2.

Tinggalkan komentar