Integritas dan Profesionalisme Perut

Tak disangka tak dinyana, Kang Noyo, tetangga yang juga temen saya mburuh di pabrik itu benar-benar serius dengan ucapannya. Kebetulan beberapa waktu yang lalu beliau sempet nyinggung soal mbeli mobil, yang saya kira cuma guyon. Ternyata dengan pedenya sang buruh pabrik mengajukan kredit buat mbeli Daihatsu Xenia.

Kebetulan syaratnya (sepertinya) cukup mudah, KTP, KK, sama Surat Keterangan Gaji. Saya ndak tau gimana caranya Kang Noyo dapet Surat Keterangan Gajinya, karena angka yang tertera di situ cukup menggiurkan. Waktu saya tanya beliau cuma bilang, “Dalam hidup ini kan yang penting saling membantu, saya toh jarang-jarang minta tolong sama orang staf.”

Jiyan!

Dipermudah lagi dengan pihak leasing yang ndak nanya apa kita punya kreditan lain, plus mereka juga ndak minta cetak buku tabungan. Tapi sepertinya Kang Noyo masih kurang pede untuk menghadapi petugas survey dari leasing, jadi saya terpaksa menemani beliau hari Sabtu kemaren, ngobrol sama orang leasing.

“Bayaran di pabrik sampeyan tinggi ya Pak,” Ujar si pegawai leasing.

“Ya lumayan lah mas, ndak beda jauh sama standardnya pegawai departemen keuangan,” Kata Kang Noyo sambil berusaha mengatur nada suaranya biar kedengaran sejujur sewajar mungkin.

Ngobrol ngalor ngidul, ternyata si pegawai leasing ini istrinya seorang pegawai negeri juga, tepatnya di Badan Pertanahan Nasional. Sebuah tempat yang konon katanya lumayan basah.

“Harusnya tahun ini BPN juga menerima remunerasi Pak, tapi katanya ditolak sama menteri keuangan,” Kata si pegawai leasing, “Berarti secara ndak langsung Sri Mulyani merestui korupsi di BPN tho?”

Welhadalah! Saya agak keselek waktu denger orangnya ngomong begitu. Lha kok kasian bener Bu Sri, dianggap secara ndak langsung merestui adanya korupsi.

Ini memang masalah yang agak ruwet. Saya sering bertanya dalam hati, manakah yang harus didahulukan antara melakukan pekerjaan secara profesional dan penuh integritas yang berujung pada naiknya bayaran karena hasil kerja memang memuaskan, atau bayaran dinaikkan dulu biar kerjanya jadi profesional dan penuh integritas?

Di satu sisi saya sangat maklum kalo ada orang susah konsentrasi karena saat kerja juga mikir gimana mbayar listrik, duit sekolah, kontrakan, bahkan mungkin lagi mikir apa yang harus dimakan besok. Tapi di sisi lain kadang saya heran ada orang yang sudah dibayar relatif tinggi, dapet fasilitas ini itu, tapi ternyata masih ndak bisa profesional dan ndak punya integritas moral.

“Mungkin ditolaknya karena ada hal lain Mas. Kan bayaran tinggi ndak selalu berbanding terbalik dengan niat korupsi, kalo misalnya struktur organisasi, sistem pengawasan, dan lain-lainnya ndak dirubah mungkin bayaran ditambah juga ndak njamin perilaku ikut berubah,” Kata saya mencoba bersikap sok bijak.

Mas pegawai leasing-nya manggut-manggut.

Saya jadi teringat perkataan seorang senior saya dulu, “Pada dasarnya ada tiga macem pegawai, tipe mujahiddin yang memang integritasnya tinggi, tipe cowboy yang ndak punya integritas, dan tipe separo mujahiddin separo cowboy.”

Sebagus apapun organisasinya, setinggi apapun bayarannya, kita susah berharap pada tipe cowboy. Contohnya mungkin bisa sampeyan liat pada seorang pegawai departemen keuangan yang mendadak jadi selebriti sejak pernyataan Komjen (Pol) Susno Duadji tentang makelar kasus di tubuh kepolisian.

Kata Mbah Suto, “Ngono yo ngono, ning ojo ngono.”

Orang terpeleset itu manusiawi, tapi jangan keseringan, trus kebablasan, sampe dipleset-plesetkan.

Mas pegawai leasing pulang dengan janji akan memberi kabar kalo aplikasi kreditnya sudah selesai diproses. Saya cuma berharap semoga kalo kreditnya disetujui, Kang Noyo mampu mbayar angsuran bulanannya. Siapa tau nanti kalo ujan-ujan saya bisa numpang mobilnya.

“Lha kok enak cuma numpang, kalo mau nebeng yo kamu harus ikut urunan mbayar angsurannya!” Ujar Kang Noyo.

Jiyan!

9 comments on “Integritas dan Profesionalisme Perut

  1. desty berkata:

    Kyknya lg trend sekarang, nyari hak dulu baru melaksanakan kewajiban. Nyari upah dulu baru kerja..

    #stein:
    urusan perut dulu brarti yo mbak? 😆

  2. hanif IM berkata:

    hm… sulit juga yah, karena ya kebutuhan juga terus bertambah, tapi apa daya jika kemampuan/gaji, tak secepat bertambahnya kebutuhan.

    #stein:
    ….. 😀

  3. mawi wijna berkata:

    pengabdian yang katanya tanpa imbal balas jasa, dimanakah gerangan berada?

    #stein:
    totalitas pelayanan, ndak tau masih ada apa ndak

  4. Dewa Bantal berkata:

    WAKAKAKA jiyan tenan memang si Noyo. Wong sudah dibantu dapetin pinjeman kredit masih minta suruh mbantu bayar urunan.

    Numpang mobil cukup urun duit bensin aja, jangan tertipu! Wahahahahaha xD

    Aku jadi pengen ketemu kamu dan kang noyo, kongko di angkringan, ngewedang ronde ato teh jahe nih. Sambil nyokot mendoan plus ngrikiti lombok ijo.

    #stein:
    sayangnya jauh tenan mas, sampeyan di amerika saya di ameriki 😆

  5. prasetyandaru berkata:

    Kok jadi kek tukang becak ya…kalok ongkosnya duwur, sampek tujuan ya cepet, tapi kalok ongkosnya asal jadi cumak buwat penglaris..sampek tujuan ya kadang sampek kadang endak

    #stein:
    yang mana yang kayak tukang becak mbak? *bingung*

  6. mzjiwo berkata:

    Cuma isa berdoa sebagai tukang ketip tanah…. mugo2 isa ngombe kopi rasa starbak yu darmi..

    #stein:
    makane, ayo tho dolan malang

  7. Asop berkata:

    Hujan pulang kantor numpang Kang Noyo, motor Mas dibawa di mana? :D:D

    #stein:
    titip satpam wae tho 😆

  8. BeINSTORE berkata:

    Blogwalking berbagi pengalaman. datang ke temapt ku. 06:30

  9. pipitta berkata:

    lah mas stein gak ngikut beli mobil?? daripada tahan naik motor terus?? mana bbmnya mau dibikin ga pake subsidi 😛

    #stein:
    tunggu saja mbak 🙂

Tinggalkan komentar