Bekerja dan Terlihatlah Bekerja

Konon katanya saat kerja ikut orang alias mburuh seperti saya ini, ada dua macam hal yang harus dilakukan, yaitu bekerja dan terlihat bekerja. Bekerja dan terlihat bekerja adalah dua hal yang memiliki filosofi dasar berbeda, walaupun pada suatu persinggungan mungkin saja bisa memiliki substansi yang sama.

Dalam prakteknya bekerja juga terbagi dua macam, bekerja dan terlihat bekerja, serta bekerja namun tidak terlihat bekerja. Begitupun terlihat bekerja, dia terbagi menjadi dua jenis, yaitu terlihat bekerja padahal tidak, dan terlihat bekerja yang memang benar-benar bekerja.

Sudah cukup mumet? Soalnya saya sudah…

Work for a cause, not for applause. Live life to express, not to impress. Don’t strive to make your presence noticed, just your absence felt.

Itu kata orang kulon kali sana. Buat saya yang orang wetan kali, kata-kata di atas ada benarnya juga, tapi ya itu, benarnya waktu di kulon kali…

Sebenarnya bagi saya pribadi, rasanya memang ndak pantes kalo kita bekerja hanya demi aplaus. Berharap peluh kita berbuah sorotan dan semacamnya, bukan seperti itu. Bekerja seringkali merupakan hal yang sangat personal, tentang hati, kepuasan diri, dan semacamnya. Yang ujung-ujungnya malah kadang membuat kita bias. Bukan hal yang mustahil saat seseorang merasa telah bekerja, ternyata buat orang lain belum. Bias yang bisa menjerumuskan kita pada klaim sepihak.

Jadi kalo mau bekerja ya sudah bekerja saja, ndak usah mumet-mumet mikir yang lain, work for a cause.

Tapi…

Setiap pabrik, yang di dalamnya terdiri dari banyak buruh, tentu memiliki target. Saat target ndak tercapai, salah satu pihak yang patut disalahkan adalah buruh yang ndak mau kerja. Sedangkan saat target berhasil diraih, yang mendapat penghargaan lebih seharusnya buruh-buruh yang bekerja lebih keras.

Nah, pada saat seperti inilah perlunya hal kedua, terlihat bekerja. Saat sudah ada tangan lain menunjuk, yang dipercaya terjadi adalah yang terlihat. Seeing is believing…

“Kowe kuwi ngomong opo tho Le?” Tanya Kang Noyo kebingungan.

Lha itu, saya juga ndak begitu paham. Mbuh kerasukan jin prewangan dari mana.

“Nganu Kang, aslinya saya itu cuma lagi bingung nyari ide.” Jawab saya.

“Gayamu Le… Buruh macem kamu itu ndak usah nyari ide, nyari duit saja…” Ketus Kang Noyo.

Asyem!

“Beneran ini Kang, saya lagi mumet nyari ide, soale buat lomba.” Kata saya.

“Lomba opo?” Tanya Kang Noyo.

“Lomba masak…”

Gubrag!

Dan Kang Noyo pun sukses terpingkal-pingkal.

Tapi memang beneran, saya lagi ikut lomba masak tingkat nasional, walaupun lingkupnya memang terbatas, ndak semua orang boleh ikut. Sebenarnya agak males juga, campur ndak pede, karena level kemampuan memasak saya dari jaman masih jadi anak kost sampai sekarang ya masih segitu-segitu aja. Tapi berhubung dapet perintah, ya mau gimana lagi.

Tugas yang diberikan dalam lomba ini cukup sederhana, cuma membuat 6 macam hidangan utama dan 24 macam hidangan pelengkap. Sederhana tho tugasnya? Wong cuma satu kalimat.

Ndak ada penjelasan lebih lanjut kenapa angkanya 6 dan 24. Kalo saya pikir mungkin karena lomba ini dilakukan secara nasional, mau ndak mau panitia dari pusat harus membuat parameter yang bisa diberlakukan secara global. Setelah menimbang satu dan banyak hal, akhirnya keluarlah angka tersebut, mungkin lho ya…

Tapi salah satu syarat yang merepotkan adalah, bahan baku untuk membuat 30 macem makanan itu harus dibeli di warung/toko/supermarket/apapun dengan jarak maksimal 200m dari rumah tempat tinggal.

Modarlah saya! Warung jarak segitu di tempat saya ya cuma warung Mbok Darmi!

Kalo yang rumahnya sebelah Indomaret lumayan, sukur-sukur tetanggaan sama Carrefour, Hypermart, dan semacamnya. Bahan berlimpah dari yang mentah, setengah mateng, sampai yang siap saji.

Lha saya?

Celakanya lagi bahan makanan yang sama cuma dihitung satu. Jadi misalnya saya nemu bahan tempe, lalu tempe itu sebagian saya bikin oseng, sebagian lagi saya bikin bothok, lalu ada yang saya bikin bacem, tiga jenis makanan. Tapi karena bahannya cuma tempe maka tiga makanan itu cuma akan dihitung satu.

Modar tenan tho?

Saya masih bisa mikir-mikir cari cara untuk yang 6 hidangan utama, entah itu menjarah beras di dapur, nempil jagungnya tetangga, ngambil singkong di belakang rumah, pokoknya[tm] masih kepikiran apa yang mau saya buat. Tapi yang 24, mumet tenan saya. Berhari-hari saya ndhepipis di pojokan warung Mbok Darmi, nyari wangsit, dan tetep ndak nemu…

Sampai akhirnya saya teringat kata-kata ini,

concentrate on what you can control and the rest will follow

Memikirkan apesnya saya yang cuma bisa mengandalkan warung Mbok Darmi hanya akan menghabiskan energi dan waktu. Jadi ya sudahlah, sepertinya saya harus lebih fokus mempelajari, apa yang kira-kira bisa saya maksimalkan dari warung Mbok Darmi. Lagian buat saya kerja itu sakmadya saja, work for a cause, not for applause, live life to express, not to impress…

“Kowe ki ancen kakehan gaya kok Le…” Celetuk Kang Noyo.

“Aslinya kamu itu bukannya mau meng-express, tapi lebih karena kamu memang ndak mampu meng-impress…”

Mmm… Kang Noyo ki asyem tenan kok, karena kalo dipikir-pikir, sepertinya memang itu yang terjadi…

Jiyan!

3 comments on “Bekerja dan Terlihatlah Bekerja

  1. Trus piye lombane? Menang?

  2. anza berkata:

    blog ini luar biasa
    artikelnya berkualitas dan inspiratif saya sangat suka dengan blog agan
    menarik, enak bacanya dan bermanfaat
    mantap gan.. saya penggemar agan salam kenal and salam sukses

Tinggalkan komentar