Jangan Takut Salah

“Kata orang hidup ini pilihan, dan konon ndak ada pilihan yang salah, yang salah adalah saat kita menyesali pilihan yang telah kita ambil,” Kata Kang Noyo petang tadi sambil menyesap kopi di warung Mbok Darmi. Hujan yang belum sepenuhnya berhenti mbikin kata-katanya terasa makin bernuansa pilosopis.

“Mosok sih Kang?” Rasanya kok saya ndak sepakat dengan pernyataan Kang Noyo.

Dalam hidup kadang kita ketemu persimpangan, adakalanya pertigaan, mungkin perempatan, atau bisa jadi bunderan dengan lebih banyak pilihan jalan. Repotnya ndak semua persimpangan ada penunjuk arahnya. Misalnya jalan yang kita ambil ternyata ndak sesuai dengan tujuan semula, ada hal-hal yang mungkin kita lakukan: meneruskan sambil berhararap ada jalan tembus ke arah yang semula kita tuju, meneruskan dengan mengubah tujuan, atau mungkin lebih baik puter balik.

Itu analogi pilihan hidup versi saya. Yang namanya pilihan pasti ada yang benar dan ada yang salah. Misalnya saya mau pergi ke kampung sebelah dengan lewat jalan pintas nembus komplek, ternyata saya ketemunya gang buntu, berarti pilihan jalan saya salah tho?

“Ya ndak bisa seperti itu Le! Hidup ini kan sebuah proses, ndak bisa tho kita menghakimi sebuah proses, wong belum kelihatan hasilnya.” Ujar Kang Noyo ngeyel.

Welhah! Makin berat saja dobosannya.

“Ndak mesti seperti itu kok Kang. Misalnya kalo sampeyan liat kasus Century, walaupun hasilnya perekonomian kita baik-baik saja, tapi karena menurut para anggota dewan proses penyelamatan Bank Century salah, ya para pejabat yang berwenang dianggap salah,” Kata saya, waton muni.

“Halah! Kamu itu centura centuri, ndak bosen apa ngomong century terus?” Ujar Kang Noyo.

Saya tetep berpendapat kalo yang namanya pilihan ndak selalu benar. Tapi itu bukan alasan bagi kita untuk takut dalam memilih jalan, mungkin dengan kesalahan kita bisa belajar untuk lebih berhati-hati dalam menentukan pilihan. Kalo kata Mbah Suto, insting kita pun akan ikut terasah untuk mengenali bermacam pilihan.

Konon katanya grafik hidup manusia memang ndak mungkin stabil, kadang naik, kadang turun. Tapi hal itu ndak masalah selama trend-nya tetep naik. Demikian juga soal pilihan, ndak mungkin orang bener terus, tapi ndak masalah selama masih bisa dikompensasi dengan pilihan-pilihan yang benar.

Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos pernah mengatakan bahwa orang menganggapnya berhasil bukan karena beliau ndak pernah melakukan kesalahan. Pak Dahlan mengaku pernah membuat pilihan salah yang mengakibatkan perusahaan rugi jutaan rupiah, tapi beliau bisa menutupinya dengan pilihan-pilihan benar yang menghasilkan miliaran rupiah.

“Tapi sepertinya kata-kata sampeyan tadi benar kok Kang,” Ujar saya sambil nyeruput kopi.

“Yang mana? Bahwa pilihan ndak ada yang salah?” Tanya Kang Noyo.

“Bukan, kata-kata Sampeyan bahwa yang salah adalah saat kita menyesali pilihan yang telah kita ambil,” Kata saya.

“Bener di mananya?” Tanya Kang Noyo lagi.

“Karena yang kita sesali memang biasanya pilihan yang salah.” Jawab saya sambil pamitan.

Kang Noyo keliatan bingung, ndak tau bingung dengan kata-kata saya, atau bingung karena kali ini dia yang harus mbayari kopinya, mbuh lah.

9 comments on “Jangan Takut Salah

  1. Asop berkata:

    Kalo takut salah ya ga bakal bisa bersaing di dunia nyata… 😦

    #stein:
    begitulah 🙂

  2. Dewa Bantal berkata:

    Hehe jadi mirip sama diskusian kemarin itu. Positif thinking memang perlu tapi ada saatnya itu kita memang harus melihat hal yang negatif xD — kalau salah ya salah. Give it up, cari jalan alternatif, puter balik, ato kalau perlu ganti tujuan saja.

    Kamu tiap hari ketemu si Noyo ya? Kok kayaknya sobat karib bener 🙂

    #stein:
    tetangga di rumah, temen mburuh juga di pabrik, wajar tho? 😆

  3. elcharis berkata:

    Jangan takut salah, tapi takut kalau dosa….

    #stein:
    bijak sekali 🙂

  4. Harikuhariini berkata:

    Jadi inget mas tomas alfa edison. Yg melakukan ribuan x percobaan untk menemukan cara yg tepat dlm membuat lampu.

    #stein:
    contoh yang tepat mbak 🙂

  5. prasetyandaru berkata:

    ha kalok salah tapi terus2an mungkin perlu dironsen otaknya..kata mbahmbel sapa tau ada upilnya

    #stein:
    …. :mrgreen:

  6. Chic berkata:

    ini analoginya sama kayak naik lift di kantor sayah itu 😆

    #stein:
    bukannya lift sampeyan itu lebih menyesatkan ya? :mrgreen:

  7. Vicky Laurentina berkata:

    Hohoho..jadi inget.

    Saya pernah membuat keputusan yang salah waktu saya kerja di sebuah rumah sakit beberapa tahun lalu. Jadi ceritanya, saya memutuskan untuk merawatinapkan seorang pasien sakit jantung yang membutuhkan ICU karena jantungnya dalam keadaan kritis.
    Saya dimarahin boss karena tindakan saya itu, soalnya saya tidak melempar pasien itu ke rumah sakit lain. Boss saya mikir, pasien itu ngidap HIV, jadi nggak boleh masuk rumah sakit itu.
    Saya tetap memaksa merawat, karena saya tahu, kalau saya sampai melempar pasien itu ke rumah sakit lain, pasien itu bisa meninggal dalam perjalanan karena jantungnya sangat lemah.

    Saya dimarahi karena saya lebih memilih membela pasien gawat ketimbang membela rumah sakit.

    Sekarang saya tidak kerja di rumah sakit itu lagi. Tapi saya tidak menyesal pernah memilih untuk menolong pasien itu, karena saya tahu begitulah standar kerja yang seharusnya dilakukan oleh profesi saya.

    #stein:
    saya salut sama sampeyan mbak, ndak semua orang berani mengambil keputusan seperti sampeyan

  8. deeedeee berkata:

    huehehehehehe,, diakhir ndobosan tetep aja si mas ini kekeh sama pendapatnya 😆

    #stein:
    ngeyel itu ciri khas wong cilik mbak, macem buruh pabrik kayak saya 😆

  9. indra kurniawan berkata:

    semoga saya juga menjadi golongan orang yang tidak takut salah…

Tinggalkan komentar