Tentang Hujan

Hujan adalah titik-titik air yang berjatuhan dari udara, sering membuat genangan, kadang juga membawa kenangan. Konon pula, ada rindu di setiap tetes hujan. Kalimat-kalimat sendu yang lantas dibalas dengan, ”Aneh dengan orang jaman sekarang, pas hujan yang diingat kenangan, bukan jemuran.” Atau kalimat ngenes beraroma dengki semacam, ”Hujan, suatu hal yang diharapkan para jomblo di setiap malam minggu.”

Cak Nun mengajak kita hujan-hujanan dalam buku Secangkir Kopi Jon Pakir. Sohachi Yamaoka mengisahkan Oda Nobunaga menyembunyikan air matanya dalam hujan. Sampeyan mungkin pernah dengar lagu Have You Ever Seen The Rain, liat video klip November Rain, atau kalo yang itu terlalu lawas mungkin sampeyan pernah dengar Hujan-nya Utopia. Banyak kisah tersimpan dalam tiap derainya. Mungkin sampeyan pun punya cerita sendiri tentang hujan.

Menurut wikipedia, hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan. Tentu penjelasan di wikipedia ndak sependek itu, tapi kalo semuanya saya salin di sini, niscaya ndak akan tersisa ruang bagi saya untuk sekedar nyampah, setelah sekian lama blog hina ini terabaikan.

Yang jelas, sore ini saya terjebak di pabrik. Setelah dari siang langit menjanjikan perjalanan pulang yang menyenangkan, mendadak hujan turun, deras sederas-derasnya umat. Sampeyan jangan lantas menodong saya, ”Umat yang mana?” Kuatirnya nanti berlanjut, Sunni apa Syiah? Ngaji pondok apa ngaji google? Mendukung imam besar apa ndak? Percaya bumi bulat apa datar? Ruwet, dan kebetulan saya termasuk yang percaya bahwa hidup sudah terlalu ruwet tanpa kita meributkan hal-hal semacam itu.

Berhubung jam kerja di pabrik sudah habis, rasanya bakal sok yes sekali kalo saya masih melanjutkan pekerjaan, maka beralihlah saya ke tangga darurat yang letaknya persis di sebelah ruangan saya. Sambil nenteng gitar yang sengaja saya tinggal di pabrik sebagai antisipasi saat jenuh dan butuh hiburan. Satu lagu, dua lagu, hujan masih istiqomah derasnya. Saya liat hp, di salah satu grup ada yang posting tentang larangan menyingkat salam, ada benarnya, walaupun haqul yakin yang posting pun ndak sepenuhnya paham apa yang dia sampaikan. Saya cuma menanggapi, yakinlah Gusti Allah ndak bakal salah paham cuma gara-gara sampeyan salah nulis.

Setelah sebatang dua batang rokok, saya yakin kalo memang sudah takdir saya untuk pulang hujan-hujanan. Dan sebenarnya saya ndak masalah harus hujan-hujanan, pertama karena motor saya, Jupiter Z1, punya bagasi yang walaupun kecil tapi masih muat untuk naruh tas, yang kedua karena hujan-hujanan bagi saya adalah salah satu saat yang paling kontemplatif. Merasakan terpaan angin, sambil menikmati dingin air, rasanya seperti menyatu dengan alam, damai. Belum lagi sampeyan bebas untuk ndremimil sepanjang jalan tanpa kuatir ada yang menyangka sampeyan edan.

Satu hal yang membedakan di sore ini adalah, saya agak meriang. Mbuh kenapa, dari hari minggu my body rasanya not delicious, bersin-bersin, tenggorokan serak, badan semriwing. Halah, bilang mau pilek saja susah bener. Makanya, saya sebenarnya nunggu hujan agak reda, tapi ya sudahlah. Saya nyalakan motor, lalu memakai helm yang busanya sudah basah kuyup karena tadi gak sempat diamankan. Ritual pertama adalah memiringkan motor ke kanan, agar air yang masuk ke spion sebelah kiri keluar.

Jalanan depan pabrik masih lumayan ramai, pelan-pelan saya masuk ke jalan raya sambil menyalakan lampu sein kanan, karena ndak jauh dari gerbang pabrik saya harus muter balik arah. Dalam hitungan detik saya sudah basah kuyup, dan kali ini buaian hujan ndak senikmat biasanya, saya kedinginan. Di depan sana lampu merah Blimbing antri panjang, jadi saya belok di Jalan Candi Panggung, relatif sepi, dan untuk sesaat saya merasa damai, jalan pelan-pelan tanpa ada satupun kendaraan lain.

Ndak jauh dari situ ada kampus ABM, dalam kondisi normal saya akan sedikit kehilangan konsentrasi di sini, ya maklum lah, mbak-mbak kuliahan banyak nongkrong di kiri kanan. Tapi dalam hujan suasananya beda, saya hanya berpikir bagaimana caranya menyampaikan damai yang saya rasakan dalam bentuk tulisan, nanti, sesampainya di rumah. Setelah ABM, ada kantor BCA di pojokan, kalo beruntung sampeyan bisa ketemu mbak-mbak teller yang pada pinter dandan. Tapi lagi-lagi, ini hujan, dan tiba-tiba saya kepikiran kalo saya cuma punya dua pasang sepatu.

Ceritanya kemarin juragan saya memberi perintah, ndak boleh ke pabrik pake sepatu kets, padahal sepatu yang sedang saya pakai sekarang basah. Dan mendadak juga saya teringat, saya ngomong sama juragan waktu ngrokok bareng, setelah briefing yang antara lain mengatur masalah sepatu itu, ”Aturannya gak penting banget sih Pak…”

Lepas dari ABM, saya masuk jalan Borobudur, cuma selintas saja, karena setelah itu saya kembali keluar dari jalan raya. Ada sebuah gereja Katolik besar di kiri jalan yang selalu ramai, banyak mobil parkir, dengan pemiliknya yang tampil necis, dandan rapi dengan baju bagus. Hal yang kadang membuat saya berpikir, kenapa di mesjid saya jarang ketemu orang yang sholat dengan pakaian terbaiknya? Ah, tapi mungkin karena saya yang jarang ke mesjid, gimana mau ketemu.

Ndak jauh dari gereja ada jembatan kecil, di atas selokan, posisinya lebih rendah dari jalan sebelum dan sesudahnya. Tiap kali hujan selalu saja air menggenang di situ, saya lewat sambil mengangkat kaki, takut sepatu saya makin basah. Sekilas saya teringat tulisan Cak Nun, sebenarnya saat kita berlarian nyari tempat berteduh, bukan tubuh kita yang hendak kita lindungi, tapi baju kita, sepatu kita, tas kita. Saya berpapasan dengan sebuah mobil, yang untungnya masih punya tepo sliro, kalo dia jalannya kenceng, percuma saya ngangkat kaki, cipratan air dari ban mobil akan mengguyur saya.

Ndak berapa lama, saya sudah sampai rumah. Kok sebentar? Lha wong memang dekat, dari rumah ke pabrik tempat saya mburuh kalo dalam kondisi normal cuma butuh waktu di bawah 10 menit. Disambut duo precil saya yang membukakan pintu, saya lantas minta handuk, bablas kamar mandi. Selesai mandi saya membawa baju celana yang basah ke tempat cucian di belakang.

”Kedinginan?” Tanya istri saya. Lalu dia berkata pelan, ”Yah, udah tau belum, ada penemuan terbaru? Namanya jas hujan…”

Saya cuma nyengir.

Jiyan!

2 comments on “Tentang Hujan

  1. warm berkata:

    jiyan tenanan!

  2. Ferry berkata:

    keren lucu menggelitik..
    hehehe

Tinggalkan Balasan ke warm Batalkan balasan