Bukan Tentang Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah, dan Salib

Komplek tempat saya tinggal mendadak anget, bukan karena musim hujan yang mendadak pergi tentunya, karena sampe sekarang ternyata hujan deras masih setia berkunjung tiap hari. Bukan pula efek pemanasan global, yang konon telah berhasil mencairkan sedikit demi sedikit salju di kedua ujung bumi. Bukan pula gesekan antar etnis atau antar agama yang berujung bakar-bakaran (kalo ini sih panas, bukan anget lagi).

Lha trus apa?

Penyebabnya adalah pendatang baru yang ngontrak bekas rumah Pak Gatho.

Kok?

Jadi ceritanya dulu ada tetangga saya namanya Pak Gatho, ngontrak sebuah rumah di komplek saya. Setelah genap dua tahun si pemilik rumah minta tarifnya naik, sekitar tiga atau empat juta lebih mahal dari tarif semula, Pak Gatho nawar, ndak ketemu harga yang pas, akhirnya beliau pindah. Dan beberapa hari yang lalu datanglah pengontrak baru yang katanya menghangatkan suasana itu, paling ndak itulah yang diceritakan Kang Noyo sama saya.

“Mosok kamu ndak liat Le, dia itu NGGANTENG!” Cetus Kang Noyo sambil agak bersungut-sungut.

Saya garuk-garuk kepala, ngganteng, trus di mana masalahnya?

“Wogh! Nanti kalo istri kamu jadi betah duduk-duduk di teras, trus sering bertegur sapa, trus kepincut, baru tau rasa kamu!” Kang Noyo makin misuh-misuh saat saya kurang begitu antusias menanggapi aduannya.

Hais! Mbuh!

Ndak berapa lama kemudian warung Mbok Darmi makin rame dengan masuknya Pak Dadap, yang rumahnya di sebelah mushola.

“Ati-ati lho kamu sama orang baru yang ngontrak bekas rumahnya Pak Gatho.”

Welhah, apa saya yang kurang apdet berita ya? Sudah dua orang yang mengingatkan saya untuk mewaspadai si orang baru.

“Yang katanya ngganteng itu Pak?” Tanya saya.

Pak Dadap memandang saya dengan tatapan yang, menurut saya, bercampur antara judeg (bingung nyari padanan katanya dalam Bahasa Indonesia) dan kasihan. Seperti sampeyan kalo melihat orang melakukan hal yang sama persis berulang kali tapi mengharapkan hasil yang berbeda.

“Kamu itu homo opo piye? Kok ngomong masalah ngganteng! Dia itu Muhammadiyah!”

Uhuk! Saya keselek. Untung kopinya ndak tumpah.

“Memang kenapa tho Pak?” Tanya saya, asli bingung. Karena walaupun dari kecil dididik ala NU jekèk tapi saya ndak pernah merasa bermasalah dengan orang-orang non-NU.

“Lho, piye tho? Nanti kalo dia bilang ke orang-orang ndak boleh tahlilan piye? Trus ndak boleh sholawatan, nanti kalo taraweh mintanya 11 rokaat, sholat id-nya ngajak ke lapangan. Bisa rusak nanti kerukunan kampung kita!”

Haduh! Sudah cukup ini. Saya ini ke warung Mbok Darmi cuma pengen ngopi, menyesapi nuansa kedamaian yang akhir-akhir ini makin susah saya dapatkan. Mending saya pulang saja.

Di pos kamling deket rumah saya ketemu Lik Waru, yang langsung memaksa saya berhenti dan duduk di sebelahnya.

“Le, kamu sudah tau, tetangga kita yang baru itu katanya Ahmadiyah!”

Oalah, Gusti…

Tetangga saya yang baru ini modelnya kayak apa tho ya? Kang Noyo bilang ngganteng, Pak Dadap bilang Muhammadiyah, yang barusan bilang Ahmadiyah.

“Kamu ati-ati Le, Ahmadiyah itu sesat lho! Nanti kalo dia mulai nyebar ajaran di sini bisa repot kita semua!”

“Nggih Lik, nanti kalo ketemu bapak-bapak yang lain saya omongkan.” Kata saya sambil pamitan, menghindari percakapan yang lebih provokatif.

Tapi nasib saya memang ndak begitu bagus hari ini, belum jauh meninggalkan pos kamling saya liat Pak Darmo, mantan RW, melambaikan tangan memanggil saya.

“Mas, saya dengar-dengar, orang baru yang ngontrak bekas rumahnya Pak Gatho itu Syiah ya?”

Masya Allah…

Tobat tenan saya. Buru-buru saya pamitan dengan alasan ditunggu istri, mau nganter ke pasar.

Dan penderitaan saya belum berakhir, sampe rumah ternyata dikunci, istri saya sudah ke pasar. Dengan langkah gontai terpaksa saya mbalik lagi ke warung Mbok Darmi, yang sudah makin ramai, dan, saya yakin, topiknya masih belum berubah dari sejak saya pergi.

“Siapa yang bilang dia Muhammadiyah, dia itu salib!” Saya mendengar suara Pak Yono yang biasa tugas jaga malam di komplek.

“Walah, tambah gawat kalo gitu, nanti kalo nganu…” Suara bapak-bapak makin rame bersahutan.

“Nuwun sewu Pak…” Saya terpaksa ngomong agak kenceng, dan semua mata menoleh ke saya.

“Kalo pun benar misalnya pendatang baru itu Muhammadiyah, atau Ahmadiyah, atau Syiah, atau Kristen, kira-kira sampeyan akan mengikuti keyakinan dia atau ndak?”

“Kalo aku yo ndak, tapi yang lain gimana? Anak-anakku? Tetangga? Ndak lucu tho kalo nanti dia ternyata bagi-bagi sembako buat narik simpati, trus ngajak orang-orang ikut keyakinan dia. Opo kamu ndak panas?” Kang Noyo menanggapi dengan setengah emosi.

Saya mesem, “Sebenarnya malah lucu kalo sampe ada gara-gara sembako seorang tetangga sampeyan bisa berganti keyakinan.”

“Lho!”

“Jangan emosi Kang, mari berpikir yang sedikit jernih.”

Saya percaya bukan masalah intoleransi yang terjadi di sini, hanya masalah kurangnya rasa percaya diri yang bercampur egois tingkat tinggi.

Sampeyan takut anak-anak sampeyan akan goyah keimanan karena sampeyan ndak yakin sudah membekalinya dengan dasar-dasar akidah yang kuat. Sampeyan takut ada tetangga sampeyan yang bisa terbeli dengan paket sembako karena kenyataannya memang sampeyan ndak pernah peduli ada tetangga yang kurang makan.

Ada rasa egois berperan di sini, orang-orang di sekeliling sampeyan adalah teritori sampeyan, terserah apakah sampeyan mau menjaga mereka dengan sepenuh hati atau ndak. Tapi ndak ada, sekali lagi ndak ada seorangpun yang boleh menjamah mereka. Gejala awal yang mirip dengan cemburu buta, saat kurangnya rasa percaya diri membuat sampeyan merasa ndak aman, merasa tiap lelaki di sekitar pasangan sampeyan adalah ancaman.

“Diamput! Kakehan cocot!”

Mendadak ada yang memukul saya, saya terjengkang, gelap.

“Yah, bangun! Sudah siang! Buruan mandi, nanti terlambat!” Terdengar suara istri saya.

“Lho Kang Noyo mana? Tetangga barunya?” Saya masih sedikit gelagepan.

“Tetangga baru opo??”

Ealah, cuma mimpi tho?

Jiyan!

20 comments on “Bukan Tentang Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah, dan Salib

  1. lilliperry berkata:

    wahahaha, saya mbacanya mesem sambil merenung mas.
    kurangnya rasa percaya diri yang bercampur egois tingkat tinggi. saya rasa gak cuma kampung di cerita sampeyan itu, Soal keyakinan, di negara ini juga mas.

    tulisannya ngalir, ceritanya keren. 😀

  2. putrimeneng berkata:

    ini topik sensitif dan serius tapi berhasil bikin saya ngekek ga habis-habis, umpatan2 khas jawa cocot *eh :))

  3. alfakurnia berkata:

    Hehehe mas stein paling jago deh bahas topik sensitif gini dengan bahasa santai.
    Setuju banget mas, kalo memang kita percaya diri dengan keyakinan kita sendiri nggak perlu merasa terancam dengan yang berbeda tho ya.

  4. suryaden berkata:

    mungkin hanya urusan statistik follower, kayak di twitter itu loh… jadinya malah pukul-pukulan dan bakar-bakaran… dasar sableng… 🙂

  5. Sabikhun, Pejogol, RT 06/01 Cilongok, Banyumas Jawa tengah berkata:

    coba pelajari ajaran muhammadiyah. saya sakin nda ada yang perlu dikhawatirkan.yang khawatir itu karena mereka mendapat info yang salah, atau belum lengkap

  6. rully berkata:

    setujuuuu….
    tapi menurutku, penjagaan atas teritori enek batase mas…
    nek hal-hal tertentu dilanggar, yo kudu dielingke. tapi ojo sampek anarkis.
    duwe lathi yo digawe ngomongi…
    ojo sampek jotos-jotosan, usir-usiran, tembak-tembakan, obong-obongan….

  7. mawi wijna berkata:

    paling aman di rumah sendiri Kang, ibadah sekaligus iman yang tahu hanya kita dan Tuhan doang ….

  8. annosmile berkata:

    kembali ke diri masing-masing,,
    mikirin diri sendiri aja belum mampu mash mikirin orang lain..hehe

    #stein:
    kalo kata orang jaman dulu sih, selaras, serasi, seimbang

  9. Asop berkata:

    Nah, saya rindu dengan kata “diamput” dan “janc*k” yang lama gak saya dengar…. 😳

    #stein:
    tiiittt!

  10. Xixixi… perlu banyak edukasi ya, Mas.
    Salam

    #stein:
    ngono kuwi lah pokoke

  11. kodokkampus berkata:

    ealah kirain ternyata wong jowo toh *ngakak

  12. chocoVanilla berkata:

    Walah, Mas…Mas…hawong mimpi saja kok masih mikir, mbok mimpi sing enak wae to :mrgreen:

    #stein:
    lebih tepatnya mikir untuk mimpi mbakyu 😆

  13. aprikot berkata:

    mimpinya apik mas, menarik. jadi merenung setelah bacanya 😀

    #stein:
    hahaha, monggo, selamat merenung

  14. hajarabis berkata:

    nice 🙂
    saya senang mengikuti postingan anda
    postingan yang menarik .

    salam kenal yya dan sempatkan mampir ke
    website kami.

  15. the-netwerk berkata:

    i love ur post, keep share^^
    mampir balik ke website kami yaa…

  16. Sholdip berkata:

    mantab gaya tulisannya, aku durung pernah ketemu sing ngene iki. angel tenan golekane

    prom http://www.mbemas.com

    #stein:
    matur nuwun 🙂

  17. sw3tarohita berkata:

    salam kenal mas… saya suka blog sampeyan =)

    #stein:
    salam kenal juga

  18. nDaru berkata:

    kali ini saya ndak nulis komen dulu, kecuali saya nulis bahwa saya ndak mau komen

  19. Hahaha… Uapik tenan critane mas… Dari awal saya baca sampe akhir, senyum2 terus saya mengikuti cerita yang mengalir dengan alaminya… Haha… Didalam mimpi saja bisa sebijak itu coba… Ceritanya ringan tapi penuh makna… Sip banget dah.

    Saya suka bagian ini, “Saya percaya bukan masalah intoleransi yang terjadi di sini, hanya masalah kurangnya rasa percaya diri yang bercampur egois tingkat tinggi”, didukung dengan penjelasan dibelakangnya… Kecemburuan maupun kekhawatiran memang bisa terjadi karena kurangnya rasa percaya diri, didukung pula karena sikap yang kurang baik, yang telah dibangun sebelumnya… Sehingga sedikit diterpa saja, sudah bisa membuat keyakinan diri menjadi goyah…

    Sip, terus berkarya mas…
    Sukses selalu,

    #stein:
    terima kasih

  20. Irfan Gumelar berkata:

    tak baca seriusan, ternyata cuma mimpi -.-”
    BTW, post nya bagus-bagus mas 😀

Tinggalkan Balasan ke megahindra - harga tangki air Batalkan balasan